detskikut.com

Sejarah Buruk Olimpiade London Terulang, Ini Kata Christian Hadinata

From left, medalists Chinas He Bingjiao, silver, South Koreas An Se-young, gold, and Indonesias Gregoria Mariska Tunjung, bronze, celebrate on the podium of the badminton women singles at the 2024 Summer Olympics, Monday, Aug. 5, 2024, in Paris, France. (AP Photo/Kin Cheung)
Bulutangkis mengulangi catatan buruk Olimpiade London di Paris, ini kata Christia Hadinata. (Foto: AP/Kin Cheung)

Jakarta -

Bulutangkis Indonesia mengulang sejarah buruk Olimpiade 2012 di Paris. Badminton tak bisa meneruskan tradisi emas, harus puas membawa pulang medali perunggu.

Padahal, jauh sebelum Olimpiade, titik terang dari kebangkitan bulutangkis sempat muncul setelah sektor ganda putra dan tunggal putra mengukir sejarah di All England 2024.

Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto sukses back to back menjadi juara di turnamen tertua super 1000. Serta Jonatan Christie dan Anthony Sinisuka Ginting menorehkan catatan apik setelah mencetak all Indonesia final di All England nomor tunggal putra.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi hasil prestasi itu rupanya tak dilanjutkan pada turnamen-turnamen berikutnya. Paling kentara saat Indonesia Open, di mana Indonesia menjadi tuan rumah, tapi tak ada satu pun yang menembus hingga final.

Kondisi itu pun turut memunculkan keraguan pada nasib bulutangkis Indonesia di Olimpiade Paris 2024. Terlebih, atlet-atlet yang tampil hampir seluruhnya pemain proyeksi Olimpiade.

ADVERTISEMENT

Dan pada akhirnya keraguan itu jadi terbukti menyusul kiprah para atlet Indonesia yang satu-satu berguguran tanpa satu pun mampu mencapai final Olimpiade Paris.

Dari dua sektor yang diharapkan meneruskan tradisi emas, tunggal putra dan ganda putra. Malah berujung hanya satu medali perunggu dari tunggal putri Gregoria Mariska Tunjung.

"Ya sebetulnya waktu prestasi sebelumnya di All England memang kita menaruh harapan besar di dua nomor itu, tunggal putra dan ganda putra," kata Christian Hadinata, Direktur Teknik Tim Ad Hoc Olimpiade saat berbincang dengan detikSport, Rabu (7/8/2024).

"Tapi setelah All England itu kecenderungannya menurun. Nah, masalahnya kan dalam kondisi situasi seperti itu, pertanyaan besarnya bisa mengangkat lagi enggak performa mereka seperti All England? Minimal bisa mempertahankan dalam level yang tinggi, sama gitu, seperti di All England."

"Paling tidak jika tidak juara di turnamen berikutnya, sekurangnya (tembus) semifinal atau final. Jangan terlalu drop sampai babak 1 babak 2 itu terlalu jauh.

"Karena untuk mengangkatnya lagi agak berat dan susah. Kalau levelnya masih dalam perfomancenya yang tinggi kan tinggal menjaga saja," lanjutnya.

Tapi, kata Christian, yang terjadi justru sebaliknya. Hasil di Indonesia Open drop sekali, padahal itu turnamen terakhir sebelum Olimpiade.

"Iya sayang sekali. Justru kan setelah sekian lama ada satu start yang luar biasa di All England, di mana ganda putra dan tunggal putra juara bisa jadi ini momentum bagus untuk Olimpiade. Karena All England bukan turnamen sembarangan, semua pemain top dunia dan yang akan dihadapi di Olimpiade."

"Jadi sayang peak perfomancenya tak bisa dimaintenance sedemikian rupa sehingga turunnya terlalu jauh, jomplang. Mestinya kan memelihara dalam level yang tinggi, ketimbang setelah drop mengangkat kembali, karena itu tak gampang," katanya.

(mcy/cas)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat